Huftt
Kadang aku mikir "apa iya, aku ini beban?" Nggak cuma di rumah, tapi juga di hidup orang-orang yang aku sayang. Termasuk kamu. Iya, kamu yang aku anggap sebagai rumah.
Aku tau umurku nggak lagi muda—28 tahun. Orang bilang, seharusnya udah mapan. Udah bisa bantu keluarga, udah nggak ngerepotin. Tapi apa? Aku malah masih di titik ini. Malah stuck di titik ini. Masih jatuh bangun, masih belum bisa kasih banyak. Aku belum bisa bantu banyak. Tapi aku tetap bantu, aku bantu sebisaku, aku bantu pakai tenaga. Tapi.. tetap aja masih kurang. Kurang layak dan kurang cukup. Kayak semua yang aku lakuin, tetap nggak berarti apa-apa. Seolah-olah keberadaan ku cuma dihitung dari berapa yang bisa aku kasih, bukan siapa aku sebenarnya. Apa tenagaku nggak cukup? Apa semua harus diukur dari uang?
Aku capek.
Iya, aku capek karena terus merasa “kurang”. Apapun yang aku lakukan, selalu terasa nggak cukup baik. Seakan keberadaan ku baru berarti kalau bisa nyetor nominal. Aku capek denger kalimat yang bilang aku kurang ini, belum itu (memang ga secara langsung tapi artinya begitu). Aku capek hidup dengan rasa bersalah karena belum bisa jadi “orang seperti seharusnya”.
---
Dan soal pertemanan. Aku pikir kamu mengerti. Menurutku kita udah sahabatan lumayan lama. Pernah tinggal serumah. Kita tauu cara tidur satu sama lain, cara marah, bahkan cara mikir. Tapi ternyata, yang paling nyakitin itu bukan ditinggalin. Tapi dinilai tanpa ditanya dann yang lebih menyakitkan aku mulai sadar, bahkan di persahabatan pun, aku merasa jadi beban. Sama kamu. Seseorang yang aku percaya habis-habisan. Seseorang yang aku pikir "kita ini rumah satu sama lain".
Ternyata aku baru tau—kemarin—kalau menurut kamu, aku ini licik—dulu. Menurutmu, aku pulang ke rumah saat semuanya udah rapi dan pergi saat rumah lagi sibuk, biar nggak ikut ribet. Aku kaget tapi aku tertawa haha:" Harusnya kamu paham, kalau aku nggak pernah maksud gitu. Kadang waktunya aja yang nggak tepat. Kadang aku memang perlu menjauh sebentar, bukan untuk lari tapi untuk bernapas.
Dan yaa kamu bilang juga: "Yang ku hadapi selalu skripsi, kakak, keluargaku, rumah ini... gak pernah habis-habis persoalan tentang ini semua". Aku diam nggak bisa jawab.
Karena aku sadar ternyata aku masuk dalam daftar masalahmu. Aku ternyata bagian dari beban yang kamu keluhkan. Padahal aku kira aku tempatmu pulang. Seseorang yang kamu temani bukan karena terpaksa. Tapi karena kamu peduli. Sama seperti aku peduli padamu. Dan yaa sekarang, aku mulai tanya ke diriku sendiri, Apa aku selama ini cuma beban pikirannya? Yang kamu temani karena udah terlanjur dekat? Yang kamu toleransi karena nggak enak hati?
Kalau iya… kalau aku selama ini cuma bikin kamu makin lelah, kalau keberadaan ku ternyata bukan rumah, tapi beban, bilang aja.
Aku bisa mundur. Bukan karena aku nggak sayang, tapi karena aku juga pengen kamu tenang. Aku nggak pengen kehilangan kamu, tapi lebih dari itu, aku nggak pengen jadi alasan kamu kehilangan dirimu sendiri.
---
Komentar
Posting Komentar